
Tepat di bulan puasa bertahun-tahun yang lalu, mungkin ketika saya masih SD - SMP. Aktivitas saya sebagai bocah kampung di bulan puasa adalah membuat petasan. Atau orang kampung sebut sebagai mercon.
Bahan baku membuat mercon sebenarnya mudah. Hanya perlu kertas, alat kerja (palu, paku, bambu berdiameter 1 cm), dan tentunya bubuk mesiu, eh, bubuk mercon. Kita hanya harus menggunting kertas yang ada sesuai ukuran sebesar apa petasan yang diinginkan. Semua bahan dan cara pembuatan pun gancil banget. Tapi... untuk mendapatkan bubuk mercon emang perlu perjuangan ekstra. Bubuk mercon tidak dijual di kampung saya, sehingga saya dan temen-temen badung lainnya harus berjuang mengayuh sepeda selama berjam-jam ke desa di Jawa Tengah yang berbatasan dengan Jawa Barat.
Bukan...
Bukan tentang cara pembuatan petasan yang mau saya jelasin. Melainkan tentang kertas bahan baku petasan yang saya temukan secara gak sengaja yang ingin saya bahas.
Begini ceritanya...
Ketika saya menggunting kertas-kertas bahan mercon, mata saya terpaku pada secarik majalah usang. Entah itu majalah Bobo atau apa. Di situ ada tertulis sebuah puisi yang bagi saya indah sekali. Bahkan sampai detik ini pun saya masih mengingatnya.
Begini puisinya:
kau hanyutkan mimpi semalam
tentang riwayat kota yang kian keruh
disini pada jeram-jerammu
kukail impian walau tanpa umpan
kecuali bayang-bayang
JGEERR!!
Puisi itu membuat saya teringat terus pada masa-masa kejayaan saya membuat petasan. Mungkin kalau Nordin M Top tau bakat saya dalam meracik petasan, pasti saya diracuni, di cuci otak, dan direkrut jadi anak buahnya...
Piss
Post a Comment