Dalam bab ini SH&LM menelusuri kemunculan dan perkembangan kesadaran saintifik manusia dalam periode klasik (mulai kira-kira tahun 500 SM) yang menyingkirkan pemikiran mitologis atau teologis atas jagat raya: Thales dari Miletus (ca. 624 SM-ca. 546 SM) dari Ionia, sebagai orang pertama yang mengajukan suatu konsep bahwa jagat raya ini diatur bukan oleh para dewa, tetapi oleh hukum-hukum alam yang dapat dipahami dan dijelaskan melalui observasi dan nalar; Pythagoras (ca. 580 SM-ca. 490 SM); Archimedes (ca. 287 SM-ca. 212 SM); Anaximander (ca. 610 SM-ca. 546 SM), Empedocles (ca. 490 SM-ca. 430 SM); Demokritus (ca. 460 SM-ca. 370 SM) yang memperkenalkan konsep atom (kata Yunani, yang artinya tak dapat dipotong); Aristarkhus (ca. 310 SM-ca. 230 SM) sebagai orang pertama yang berpendapat bahwa Bumi bukanlah pusat sistem planetari kita, tetapi Bumi dan planet-planet lain mengorbit Matahari yang jauh lebih besar.
Tetapi pemikiran Yunani yang sudah dimulai sekitar tahun 500 SM ini hanya berpengaruh selama beberapa abad saja karena berbagai alasan. Pertama, teori-teori yang dikembangkan para pemikir Ionian tampak tidak memberi tempat pada kemauan bebas atau tujuan atau pada konsep tentang dewa-dewa yang mencampuri kerja jagat raya. Kedua, mereka belum menemukan metode saintifik; teori-teori mereka tidak dikembangkan dengan pendasaran pada verifikasi eksperimental. Ketiga, pada masa itu belum dibuat pembedaan antara aturan-aturan manusia dan hukum-hukum alam. Keempat, kalkulasi matematis dan pengukuran yang akurat sulit dilaksanakan pada zaman kuno.
Tampillah sejumlah pemikir yang menolak pemikiran-pemikiran Ionian. Beberapa di antaranya dapat disebutkan. Epikurus (341 SM-270 SM) menolak atomisme yang diperkenalkan Demokritus. Aristoteles juga menolak konsep tentang atom karena dia tidak bisa menerima kalau manusia terdiri atas objek-objek yang tak bernyawa atau tak berjiwa. Pemikiran heliosentrisme Aristarkhus ditolak selama berabad-abad, dan baru muncul kembali dan diterima secara umum ketika Galileo Galilee (1564-1642) menghidupkannya kembali hampir dua puluh abad sesudahnya.
Pada abad ketigabelas, filsuf Kristen Thomas Aquinas (ca. 1225-1274) memasukkan kembali allah yang sudah dikeluarkan para pemikir Ionian, ketika dia menyatakan, Sudahlah jelas bahwa benda-benda tak bernyawa mencapai tujuan mereka bukan secara kebetulan, melainkan karena suatu maksud. Karena itu, pastilah ada suatu hakikat personal yang cerdas yang olehnya segala sesuatu dalam alam ditata menuju tujuannya. Bahkan astronom besar Jerman, Johannes Kepler (1571-1630), percaya bahwa planet-planet memiliki persepsi indrawi dan dengan sadar mengikuti hukum-hukum gerak yang ditangkap oleh pikiran mereka. Pada tahun 1277, Uskup Tempier dari Paris, yang bertindak atas perintah Paus Yohanes XXI, menerbitkan sebuah daftar 219 kekeliruan atau bidah yang harus dikutuk, di antaranya adalah gagasan bahwa alam mengikuti hukum-hukum tertentu, karena gagasan ini dinilai berkonflik dengan kemahakuasaan Allah.
Konsep modern
Konsep modern tentang hukum-hukum alam muncul di abad ketujuhbelas. Tampaknya Johannes Kepler adalah seorang saintis pertama yang memahami terminologi "hukum-hukum alam" dalam pengertian sains modern, meskipun dia mempertahankan suatu pandangan animistik mengenai objek-objek fisik. Galileo menyingkapkan banyak hukum alam, dan mempertahankan sebuah konsep penting bahwa observasi adalah dasar sains dan bahwa tujuan sains adalah menyelidiki hubungan-hubungan kwantitatif yang ada antara fenomena fisika.
Tetapi orang pertama yang dengan eksplisit dan dengan kuat merumuskan konsep tentang hukum-hukum alam sebagaimana kita memahaminya adalah Descartes (1596-1650). Descartes percaya bahwa semua fenomena fisikal harus dijelaskan dari sudut tabrakan antara massa-massa yang bergerak, yang diatur oleh tiga hukum (pendahulu hukum-hukum gerak Newton yang terkenal). Dia menegaskan bahwa hukum-hukum alam berlaku di semua tempat dan di segala waktu, dan menyatakan dengan eksplisit bahwa ketaatan pada hukum-hukum ini tidak berarti bahwa benda-benda yang bergerak memiliki pikiran.
Menurut Descartes, Allah dapat dengan kemauannya sendiri mengubah kebenaran atau kesalahan proposisi-proposisi moral atau teorem-teorem matematis, tetapi tidak dapat mengubah alam. Dia percaya bahwa Allah menjadikan hukum-hukum alam tetapi tidak memiliki pilihan dalam hukum-hukum ini; Allah menetapkan hukum-hukum ini karena hukum-hukum ini, sebagaimana kita alami, adalah satu-satunya hukum-hukum yang mungkin. Baginya, tidak perduli bagaimana materi diatur pada permulaan jagat raya, lambat laun suatu dunia yang identik dengan dunia kita akan berevolusi. Menurutnya, sekali Allah membuat jagat raya ini jalan, Allah selanjutnya meninggalkan jagat raya ini sendirian sama sekali.
Isaac Newton (1643-1727) mengambil posisi yang serupa, dengan beberapa kekecualian. Konsep-konsep Newton mengenai suatu hukum saintifik dengan tiga hukum geraknya, dan hukum gravitasinya yang dengannya orang dapat menjelaskan orbit-orbit Bumi, bulan dan planet- planet, dan juga fenomena seperti pasang surut air laut, adalah konsep-konsep yang diterima secara luas sebagai konsep-konsep saintifik modern.
Dalam dunia sehari-hari, di mana kecepatan-kecepatan gerak benda- benda yang kita temui berada jauh di bawah kecepatan cahaya, hukum-hukum Newton merupakan hukum-hukum sebab berlaku pada kondisi ini; tetapi hukum-hukum Newton harus dimodifikasi jika objek-objek bergerak dengan kecepatan-kecepatan mendekati kecepatan cahaya. Meskipun Newton mengajukan konsep-konsep saintifik modern, dia percaya juga bahwa Allah dapat dan telah mencampuri kerja jagat raya.
Tiga pertanyaan
Jika alam diatur oleh hukum-hukum, muncul tiga pertanyaan:
- Dari mana asal-usul hukum-hukum ini?
- Apakah ada kekecualian-kekecualian apapun terhadap hukum-hukum ini, yakni mukjizat mukijzat?
- Apakah hanya ada satu perangkat hukum-hukum yang mungkin?
Determinisme saintifik
Terhadap pertanyaan kedua, SH&LM menjawab berdasarkan determinisme saintifik. Laplace (nama lengkapnya Pierre-Simon, Marquis de Laplace, 1749-1827) adalah orang pertama yang dengan jelas mempostulatkan determinisme saintifik: jika keadaan jagat raya pada satu waktu diterima, maka seperangkat lengkap hukum-hukum akan dengan sepenuhnya menentukan baik masa depannya maupun masa lampaunya. Karena masa lampau dan masa depan segala sesuatu ditentukan oleh hukum-hukum alam, maka tidak terbuka kemungkinan bagi adanya mukjizat-mukjizat atau adanya suatu peran aktif Allah. Determinisme saintifik adalah jawaban saintifik bagi pertanyaan kedua, dan sesungguhnya merupakan dasar bagi semua sains modern, sebuah prinsip yang diklaim SH&LM sebagai prinsip penting bagi seluruh buku GD. Tulis mereka, sebuah hukum saintifik bukanlah sebuah hukum saintifik jika hukum ini hanya berlaku kalau suatu hakikat supernatural memutuskan untuk tidak mencampurinya.
Adakah kehendak bebas?
Apakah determinisme saintifik juga berlaku bagi manusia, sehingga tidak ada kehendak bebas pada manusia (dan semua makhluk hidup lainnya)? Pemahaman kita atas basis molekuler dari biologi memperlihatkan bahwa proses-proses biologis diatur oleh ilmu fisika dan ilmu kimia dan karena itu tunduk pada determinisme saintifik, seperti juga halnya dengan orbit planet-planet. Eksperimen-eksperimen mutakhir dalam neurosains mendukung pandangan bahwa otak fisikal kitalah, yang bekerja dengan mengikuti hukum-hukum sains, menentukan tindakan-tindakan kita, bukan suatu agensi yang berada di luar hukum-hukum itu. Jadi, sukar untuk membayangkan bagaimana kehendak bebas akan dapat beroperasi jika perilaku kita ditentukan oleh hukum-hukum fisika, sehingga tampaklah bahwa kita ini tidak lebih daripada mesin-mesin biologis dan bahwa kehendak bebas hanyalah sebuah ilusi.
Teori efektif
Tetapi karena tubuh manusia terdiri atas ribuan trilyun trilyun molekul yang harus diperhitungkan, dan ada banyak variabel yang ikut bekerja, maka dalam prakteknya sangat sulit bahkan mustahil memprediksi hasil atau akibat yang ditimbulkan oleh kerja hukum-hukum alam di dalam diri manusia, yang menentukan perilaku manusia. Karena sangat tidak praktis menggunakan hukum-hukum fisika sebagai suatu landasan untuk menentukan atau memprediksi perilaku manusia, maka dipakai apa yang dinamakan teori efektif (effective theory).
Dalam fisika, suatu teori efektif adalah sebuah kerangka atau sebuah perancah yang diciptakan sebagai model bagi fenomena yang diobservasi tanpa menggambarkan dengan rinci semua proses yang mendasarinya. Misalnya, kita tidak dapat memerinci dengan persis persamaan- persamaan yang mengatur interaksi gravitasi dari setiap atom dalam tubuh seseorang dengan setiap atom dalam Bumi. Tetapi untuk kepentingan praktis, gaya gravitasi di antara seseorang dan Bumi dapat digambarkan hanya dalam beberapa bilangan saja, seperti total massa seseorang.
Demikian juga, kita tidak dapat memerinci persamaan-persamaan yang mengatur perilaku atom-atom yang rumit dan molekul-molekul, tetapi kita telah mengembangkan sebuah teori efektif yang dinamakan ilmu kimia yang menyediakan sebuah penjelasan yang memadai tentang bagaimana atom-atom dan molekul-molekul berperilaku di dalam reaksi-reaksi kimiawi tanpa memperhitungkan setiap rincian interaksi ini.
Dalam hal manusia, karena kita tidak dapat memerinci persamaan-persamaan yang menentukan perilaku kita, kita menggunakan teori efektif bahwa manusia memiliki kehendak bebas. Kajian atas kehendak kita, dan atas perilaku kita yang muncul dari kehendak kita, adalah ilmu psikologi.
Terhadap pertanyaan ketiga di atas, SH&LM merujuk ke Plato dan Aristoteles yang, seperti Descartes dan kemudian Einstein, percaya bahwa hukum-hukum alam ada karena keharusan, maksudnya, hukum-hukum ini ada karena hukum-hukum inilah satu-satunya hukum-hukum yang secara logis bermakna. Galileo mengamati, hukum-hukum alam inilah satu-satunya hukum-hukum alam yang alam jalankan pada dirinya sendiri, bukan harus ada karena alasan-alasan logis saja.
Bersambung Ke Bagan tiga......
Post a Comment