Setelah kesialan-kesialan yang menimpa saya sewaktu keliling monas kemarin, malamnya saya diajakin tahlilan di mushala. Katanya sih selamatan 100 hari meninggalnya ibu anu...
Saya lalu bergegas nyari sarung, peci, dan baju koko. Saya memperhatikan dandanan saya di cermin. "Gila! Gue ganteng juga pake baju ginian. Sebelas duabelas lah sama Ariffin Ilham"
Dari dulu, saya memang jarang mau kalau diajakin tahlilan atau selamatan atau kenduri apalah. Saya menolak karena kebanyakan yang hadir adalah bapak-bapak dan kakek-kakek. Pasti cerita yang dibahas petuah basi atau sekedar pepesan kosong. Garing!
Tapi malam itu saya paksakan diri untuk hadir di acara tahlilan. Lagian saya juga gak kemana-mana. Gak ada janji, gak ada film seru di tipi.
Berangkaaat...
Tuh kan bener, orang tua semua. Saya jadi mati kutu diantara mereka. Bawaannya manggut-manggut doang, dan senyam-senyum sok kenal.
Singkat cerita, berakhirlah acara tahlilan malam itu. Dan sekarang tiba saatnya hidangan camilan dalam piring disediakan, sekaligus pembagian berkat atau besek yang berisi nasi+lauk pauk+buah. Namun sebelum itu, mari kita flasback sebentar. Saya jadi inget kenangan masa kecil saya tentang acara tahlilan.
Dulu, acara tahlilan pada masyarakat betawi, ketika tahlil selesai, terhidanglah camilan dan nasi+lauk pauk dalam nampan besar yang di makan beramai-ramai. Tetep ada besek juga untuk dibawa pulang. Rasanya makan bareng dalam nampan besar serasa gimana gitu. Ada kebersamaan yang tidak terkatakan didalamnya. Sekaligus ada permusuhan dan persaingan dalam berebut lauk.
Tapi sekarang budaya makan bareng dalam nampan besar sudah hilang. Berganti jadi hal berikut yang malah tambah parah. Kesannya rakus.
Jadi, kalau camilan sudah tersedia, dan besek sudah dibagikan. Maka orang-orang ini akan berebutan memasukan camilan dalam piring ke besek masing-masing. Sampe-sampe besek yang bentuknya kotak berubah jadi bulat kembung saking penuhnya.
Wah, rugi saya! Coba kalau dari awal saya tau akan begini akhirnya, pasti saya bawa kantong plastik ekstra dari rumah.
Saya lalu bergegas nyari sarung, peci, dan baju koko. Saya memperhatikan dandanan saya di cermin. "Gila! Gue ganteng juga pake baju ginian. Sebelas duabelas lah sama Ariffin Ilham"
Dari dulu, saya memang jarang mau kalau diajakin tahlilan atau selamatan atau kenduri apalah. Saya menolak karena kebanyakan yang hadir adalah bapak-bapak dan kakek-kakek. Pasti cerita yang dibahas petuah basi atau sekedar pepesan kosong. Garing!
Tapi malam itu saya paksakan diri untuk hadir di acara tahlilan. Lagian saya juga gak kemana-mana. Gak ada janji, gak ada film seru di tipi.
Berangkaaat...
Tuh kan bener, orang tua semua. Saya jadi mati kutu diantara mereka. Bawaannya manggut-manggut doang, dan senyam-senyum sok kenal.
Singkat cerita, berakhirlah acara tahlilan malam itu. Dan sekarang tiba saatnya hidangan camilan dalam piring disediakan, sekaligus pembagian berkat atau besek yang berisi nasi+lauk pauk+buah. Namun sebelum itu, mari kita flasback sebentar. Saya jadi inget kenangan masa kecil saya tentang acara tahlilan.
Dulu, acara tahlilan pada masyarakat betawi, ketika tahlil selesai, terhidanglah camilan dan nasi+lauk pauk dalam nampan besar yang di makan beramai-ramai. Tetep ada besek juga untuk dibawa pulang. Rasanya makan bareng dalam nampan besar serasa gimana gitu. Ada kebersamaan yang tidak terkatakan didalamnya. Sekaligus ada permusuhan dan persaingan dalam berebut lauk.
Tapi sekarang budaya makan bareng dalam nampan besar sudah hilang. Berganti jadi hal berikut yang malah tambah parah. Kesannya rakus.
Jadi, kalau camilan sudah tersedia, dan besek sudah dibagikan. Maka orang-orang ini akan berebutan memasukan camilan dalam piring ke besek masing-masing. Sampe-sampe besek yang bentuknya kotak berubah jadi bulat kembung saking penuhnya.
Wah, rugi saya! Coba kalau dari awal saya tau akan begini akhirnya, pasti saya bawa kantong plastik ekstra dari rumah.
Post a Comment