Ini Beda antara 4 x 6 dan 6 x 4 Menurut Profesor Lapan

KOMPAS.com — Urusan pekerjaan rumah seorang siswa menjadi perdebatan menarik di media sosial. 4+4+4+4+4+4, bila dinyatakan dalam perkalian, 6 x 4 atau 4 x 6? Banyak yang berpendapat bahwa mengekspresikan 4+4+4+4+4+4 dalam perkalian menjadi 6 x 4 atau 4 x 6 sama saja. Toh hasilnya sama, begitu logikanya. Sebagian menganggapnya sebagai kebebasan bernalar. Namun, profesor astrofisika dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Thomas Djamaluddin, mengatakan, antara 4 x 6 dan 6 x 4 memang berbeda. "Samakah 4 x 6 dan 6 x 4? Hasilnya sama, 24, tetapi logikanya berbeda. Itu adalah model matematis yang kasusnya berbeda. Konsekuensinya bisa berbeda juga," urai Thomas dalam akun Facebook-nya, Senin (22/9/2014). Thomas menerangkan perbedaan 6 x 4 dengan 4 x 6 lewat sebuah soal cerita. "Ahmad dan Ali harus memindahkan bata yang jumlahnya sama, 24. Karena Ahmad lebih kuat, ia membawa 6 bata sebanyak 4 kali, secara matematis ditulis 4 x 6. Tetapi, Ali yang badannya lebih kecil, hanya mampu membawa 4 bata sebanyak 6 kali, model matematisnya 6 x 4. Jadi, 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 6 x 4, berbeda konsepnya dengan 6 + 6 + 6 + 6 = 4 x 6, walau hasilnya sama 24," terang Thomas. Lewat kasus ini, Thomas mengajak semua kalangan untuk memahami Matematika dengan logika, bukan menjadi generasi "kalkulator" yang sekadar tahu hasil. "Dengan kemampuan berlogika, suatu kasus bisa dimodelkan dengan rumusan matematis sehingga mudah dipecahkan," ungkap Thomas. sumber Ini Beda antara 4 x 6 dan 6 x 4 Menurut Profesor Hendra Gunawan Dosen Matematika ITB Anak Kelas 2 SD diminta mengerjakan soal penjumlahan berulang dengan cara menuliskannya terlebih dahulu sebagai bentuk perkalian, sebelum menuliskan jawabannya. Si anak menulis: 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 4 x 6= 24. Oleh gurunya, ia disalahkan. Gurunya menulis bahwa penjumlahan berulang tersebut seharusnya adalah 6 x 4, bukan 4 x 6. Ada beberapa isu di sini. Pertama, apakah anak Kelas 2 SD memang sudah waktunya diajak “bermain” dengan DEFINISI? Menurut saya, sang guru over acting bila secara sadar ia sudah menuntut anak bekerja dengan definisi (yang ketat pula). Kedua, yang namanya definisi itu kesepakatan. Anak Kelas 2 SD, yang masih berpikir dalam tahap konkrit, diajak bersepakat tentang sesuatu yang baru akan ia pelajari dengan guru, manusia dewasa, yang sudah bisa berpikir abstrak? Bijak kah? Lagi pula, dalam matematika, definisi tidak harus unik. Beberapa definisi (yang setara) bisa dibuat untuk satu hal yang sama. Ketiga, masalah penyajian soal. Penjumlahan berulang memang diajarkan lebih dahulu daripadaperkalian. Namun, soal di atas jelas memperlihatkan bahwa perkalian dianggap sebagai “singkatan” dari penjumlahan berulang. Padahal, penjumlahan berulang bisa dipandang sebagai metode atau cara untuk menyelesaikan persoalan perkalian. Karena itulah, sebelum belajar perkalian, penjumlahan berulang diperkenalkan terlebih dahulu. Tujuannya, ketika anak belajar perkalian, senjatanya sudah ada. Dalam konteks ini, guru seyogianya memulai dengan soal perkalian, lalu meminta anak untuk menyelesaikannya dengan menggunakan penjumlahan berulang. Soal perkalian seperti apa? Soal alami perkalian adalah soal luas daerah persegi panjang. Tetapi, untuk anak Kelas 2 SD, tentu guru harus memilihkan soal yang cukup konkrit buat anak. Sebagai contoh, mintalah anak menghitung banyak ubin pada lantai, yang terdiri dari 4 baris, masing-masing baris terdiri dari 6 ubin. Bagaimana anak menghitungnya? Ingat, anak sudah diajarkan penjumlahan berulang sebelumnya. Dalam hal ini, anak bisa menghitungnya baris per baris: 6 + 6 + 6 + 6 = 24. Tetapi, ini bukan satu-satunya cara. Anak juga bisa menghitung “kolom per kolom”: 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4= 24. Bahkan, anak yang belum mantap dengan penjumlahan berulang bisa juga mencacah ubin tsb: 1 + 1 + ... + 1 = 24. Semuanya benar. Guru kemudian memberi soal serupa, misalnya: Ada 3 baris ubin, masing- masing terdiri dari 9 ubin. Berapa ubin semuanya? Setelah cukup bermaindengan ubin; guru pindah ke papan tulis, dan menulis (misalnya): Ini adalah 4 x 6.
Bagaimana menghitungnya? Berdasarkan permainan dengan ubin sebelumnya, 4 x 6 dapat dihitung baris per baris sebagai 6 + 6 + 6 + 6 atau kolom per kolom sebagai 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4. Mau pilih yang mana? Kalau ada anak yang bertanya, “Bu.. kalau saya anggap itu 6 x 4, boleh ngga?” Kenapa tidak, nak? Kalau kamu anggap 6 x 4, memangnya bagaimana kamu akan menghitungnya? Bisa baris per baris, 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4, atau kolom per kolom 6 + 6 + 6 + 6, ya ‘kan? Di sini, baris bertukar dengan kolom. Tapi angka-angkanya itu-itu juga. Jadi berapa 4 x 6? 24. Berapa 6 x 4? 24 juga. Nah, dalam perkalian, 4 x 6 = 6 x 4, ya anak-anak! Sifat yang serupa juga kita temui dalam penjumlahan: 5 + 7 = 7 + 5. Tapi jangan berpikir semua operasi bisa dibolak-balik loh: 4–2 tidak sama dengan 2–4. Hati-hati ya! Sumber: Hendra Gunawan

Share this:

Post a Comment

 
Copyright © duniabulatbundar. Designed by OddThemes | Distributed By Blogger Templates20