Saya tidak pernah bermimpi bakalan bisa bekerja di Malaysia, meskipun sebagai operator biasa di sebuah perusahaan multinasional milik Malaysia. Bagi saya, di Malaysia lah jendela dunia saya terbuka lebar. Saya jadi tahu dan pernah jalan-jalan di semua negara ASEAN. Seneeng banget.
Saya yang memang tipe orang yang mudah bergaul, jadi punya banyak teman lokal dari berbagai kalangan dan profesi. Mulai dari politikus pemegang kekuasaan di Malaysia, staff office di perusahaan, seniman, guru, polisi, pengusaha kecil menengah, sampai orang-orang Myanmar yang mencari suaka dan bekerja di asrama saya karena di negaranya sedang huru-hara.
Bayangkan, perjuangan si orang Myanmar untuk kabur dari negaranya ini penuh drama menyedihkan. Katanya, mereka keluar masuk hutan menghindari penangkapan junta militer karena tak segan-segan tentara itu menembakan peluru, nebeng mobil truk dijalanan, begitu seterusnya sampai mereka tiba di perbatasan Thailand. Uh, ngeri.
Dimata orang Myanmar ini, dia tidak tahu, saya dan 47 orang lainnya, adalah orang Indonesia. Mereka mengira kami orang Malaysia. Padahal kita sama-sama orang asing di Malaysia. Karena ketidaktahuan mereka itulah, kami orang Indonesia, selalu mendapatkan pelayanan prima.
Kalau tidak ada teman lokal yang ngajakin saya jalan-jalan, maka kegiatan saya di malam minggu pergi ke pasar malam. Belanja kebutuhan dapur, Bu! Yuk, mari memasak!!
Saya juga kagum dengan ekonomi kerakyatan di Malaysia. Disana selalu ada lapangan terbuka yang bisa digunakan untuk kegiatan pasar malam. Seminggu bisa sampai 3 kali. Atau kalau pas bulan puasa, dipakai untuk bazar ramadhan. Menjual berbagai makanan pembuka puasa. Bazar ramadhan inilah yang tidak pernah saya jumpai di Indonesia.
Ketika hendak ke pasar malam, saya berpapasan dengan seseorang yang sepertinya tidak asing dimata saya. Saya coba mendekat tapi orang itu keburu masuk ke kedai cuci cetak photo. "Halah, gak penting. Ngapain juga saya ikutin", saya membatin.
Selama berjalan, rasa penasaran masih nyantol di kepala saya. "Siapa sih orang itu?". Rasa penasaran akan itu terjawab beberapa saat lagi.
Ketika sampai di pasar malam, seseorang yang "sepertinya saya kenal" itu tiba-tiba turun dari mobilnya di area parkir pasar malam. Tidak percaya mata saya melihatnya. Dari kaca mata yang dipakai, jelas saya tahu bahwa dia adalah Manager di perusahaan saya. Gaya berpakaiannya mencerminkan "bukan manager banget". Pake kaos rombeng, celana pendek, sandal jepit. Ngapain coba manager belanja di pasar malam? Tadinya saya pikir dia pembantunya.
Saya pun menghampiri dan saling sapa. Heran, keakraban kami mengalir hangat begitu saja. Seperti kawan karib. Dengan isengnya saya berkata, "Encik Rahman, kan? Ih, kirain siapa. Hampir-hampir saya gak mengenali. Habis, pake kaos rombeng dan celana pendek sih". Katanya, kadang Encik Rahman ini emang sering belanja di pasar malam. Beli sayuran, beli murtabak, atau beli barangan yang dijual seringgit 3 macam barang. Ooh...
Di Indonesia, saya juga belum pernah menemui orang level manager perusahaan multinasional yang berbuat sama seperti Encik Rahman. Tanpa gengsi, tanpa perlu malu. Malahan manager yang saya kenal di Indonesia dulu terlihat angkuh dan jaga jarak. Menegaskan siapa bawahan, siapa atasan. Yang paling mengenaskan, saya sering melihat mandor, foreman, supervisor, berkelakuan seperti "menjilat" sang manager. Ih, sebel!!
Saya yang memang tipe orang yang mudah bergaul, jadi punya banyak teman lokal dari berbagai kalangan dan profesi. Mulai dari politikus pemegang kekuasaan di Malaysia, staff office di perusahaan, seniman, guru, polisi, pengusaha kecil menengah, sampai orang-orang Myanmar yang mencari suaka dan bekerja di asrama saya karena di negaranya sedang huru-hara.
Bayangkan, perjuangan si orang Myanmar untuk kabur dari negaranya ini penuh drama menyedihkan. Katanya, mereka keluar masuk hutan menghindari penangkapan junta militer karena tak segan-segan tentara itu menembakan peluru, nebeng mobil truk dijalanan, begitu seterusnya sampai mereka tiba di perbatasan Thailand. Uh, ngeri.
Dimata orang Myanmar ini, dia tidak tahu, saya dan 47 orang lainnya, adalah orang Indonesia. Mereka mengira kami orang Malaysia. Padahal kita sama-sama orang asing di Malaysia. Karena ketidaktahuan mereka itulah, kami orang Indonesia, selalu mendapatkan pelayanan prima.
Kalau tidak ada teman lokal yang ngajakin saya jalan-jalan, maka kegiatan saya di malam minggu pergi ke pasar malam. Belanja kebutuhan dapur, Bu! Yuk, mari memasak!!
Saya juga kagum dengan ekonomi kerakyatan di Malaysia. Disana selalu ada lapangan terbuka yang bisa digunakan untuk kegiatan pasar malam. Seminggu bisa sampai 3 kali. Atau kalau pas bulan puasa, dipakai untuk bazar ramadhan. Menjual berbagai makanan pembuka puasa. Bazar ramadhan inilah yang tidak pernah saya jumpai di Indonesia.
Ketika hendak ke pasar malam, saya berpapasan dengan seseorang yang sepertinya tidak asing dimata saya. Saya coba mendekat tapi orang itu keburu masuk ke kedai cuci cetak photo. "Halah, gak penting. Ngapain juga saya ikutin", saya membatin.
Selama berjalan, rasa penasaran masih nyantol di kepala saya. "Siapa sih orang itu?". Rasa penasaran akan itu terjawab beberapa saat lagi.
Ketika sampai di pasar malam, seseorang yang "sepertinya saya kenal" itu tiba-tiba turun dari mobilnya di area parkir pasar malam. Tidak percaya mata saya melihatnya. Dari kaca mata yang dipakai, jelas saya tahu bahwa dia adalah Manager di perusahaan saya. Gaya berpakaiannya mencerminkan "bukan manager banget". Pake kaos rombeng, celana pendek, sandal jepit. Ngapain coba manager belanja di pasar malam? Tadinya saya pikir dia pembantunya.
Saya pun menghampiri dan saling sapa. Heran, keakraban kami mengalir hangat begitu saja. Seperti kawan karib. Dengan isengnya saya berkata, "Encik Rahman, kan? Ih, kirain siapa. Hampir-hampir saya gak mengenali. Habis, pake kaos rombeng dan celana pendek sih". Katanya, kadang Encik Rahman ini emang sering belanja di pasar malam. Beli sayuran, beli murtabak, atau beli barangan yang dijual seringgit 3 macam barang. Ooh...
Di Indonesia, saya juga belum pernah menemui orang level manager perusahaan multinasional yang berbuat sama seperti Encik Rahman. Tanpa gengsi, tanpa perlu malu. Malahan manager yang saya kenal di Indonesia dulu terlihat angkuh dan jaga jarak. Menegaskan siapa bawahan, siapa atasan. Yang paling mengenaskan, saya sering melihat mandor, foreman, supervisor, berkelakuan seperti "menjilat" sang manager. Ih, sebel!!
ih, sebel..
ReplyDeletesebel, ih...
hehehhe,,
klo sani,gmn pick???ups.....
ReplyDelete